Latest News

'

Pertemuan 4: Dialog dengan Gereja Lain (Yoh 17:20-23)


20 Bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku melalui pemberitaan mereka;
21 supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.
22 Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu:
23 Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka menjadi satu dengan sempurna, agar dunia tahu bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.
24 Bapa, Aku ingin supaya mereka, yang Bapa berikan kepada-Ku, ada bersama-Ku di tempat Aku berada, supaya mereka melihat keagungan-Ku; yaitu keagungan yang Bapa berikan kepada-Ku, karena Bapa mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan.
25 Bapa yang adil! Dunia tidak mengenal Bapa, tetapi Aku mengenal Bapa; dan orang-orang ini tahu bahwa Bapa mengutus Aku.
26 Aku sudah menyatakan nama Bapa kepada mereka; dan Aku akan terus berbuat begitu, supaya kasih Bapa kepada-Ku tetap di dalam hati mereka dan Aku bersatu dengan mereka."

Pendalaman Teks

Bagian yang digunakan sebagai bahan permenungan pada minggu ini adalah sebagian saja dari bagian lebih besar Yoh 17:1-26 yang biasa disebut dengan Doa Yesus untuk murid-murid-Nya. Orang biasa mengatakan bahwa Yoh 14-17 membentuk satu unit teks yang disebut Pidato Perpisahan (Farewell Discourse). Bagian ini adalah bagian khas dari Injil Yohanes. Dalam bagian ini Yesus berhadapan hanya dengan murid-murid-Nya. Sebagai sebuah jenis sastra, Pidato Perpisahan merupakan hal yang biasa ditemukan dalam karya sastra baik Yunani maupun Israel. Juga di dalam Alkitab sendiri kita bisa temukan, misalnya dalam, Ul 31-33 yang merupakan Pidato Perpisahan Musa atau Kis 20:17-38 yang adalah Pidato Perpisahan Paulus di hadapan para penatua Efesus. Yesus menyampaikan pidato perpisahan-Nya karena Ia akan segera meninggalkan murid-murid-Nya (Yoh 13:33).

Menurut Yoh 13, Yesus makan bersama dengan para murid-Nya. Ada dua hal yang terjadi pada waktu mereka mengadakan perjamuan: Yesus membasuh kaki para murid (Yoh 13:1-20) dan perginya Yudas (Yoh 13:21-30). Setelah Yudas berangkat, mulai Yoh 13:31 praktis Yesus yang berbicara terus sampai pada Yoh 16. Macam-macam tema dibicarakan di sini. Dan akhirnya, pidato perpisahan ini diakhiri dengan sebuah doa panjang dalam Yoh 17 sebagai doa perpisahan. Secara khusus, Yoh 17 ini seringkali, terutama di masa lalu, disebut sebagai “doa Yesus sebagai imam agung.” Secara tradisional, gagasan ini dianggap berasal dari seorang teolog  Protestan, David Chytraeus (1530-1600), tetapi akarnya sudah muncul dari seorang Klemens dari Aleksandria. Ini didukung, misalnya kalau kita memperhatikan permohonan Yesus untuk Gereja yang akan datang (ay. 9.20) dan pada kurban yang dirujuk Yesus dalam ay. 17 dan 19.

Yoh 17 adalah sebuah doa? Begitu bagian ini sering disebut. Tetapi jika diperhatikan secara saksama, sebenarnya kita bisa bertanya apakah memang bagian ini sebuah doa? Yesus tidak berada dalam situasi darurat dan membutuhkan pertolongan. Yesus juga tidak berada dalam jarak tertentu dari Allah sehingga bisa disebut iman. Yang justru tampak jelas di sini adalah relasi istimewa antara Yesus dengan Bapa-Nya. Meskipun bisa diragukan apakah Yoh 17 ini memang sebuah doa, tetapi untuk mudahnya, biarlah kita tetap gunakan saja istilah tersebut.

Kalau kita perhatikan dengan teliti, Yoh 17 ini mempunyai unsur-unsur tertentu yang selalu berulang. Kita lihat satu per satu:
  1. Ada enam permohonan Yesus: dua adalah permohonan agar Bapa memuliakan Anak (ay. 1 dan 5) dan empat permohonan untuk para pengikut-Nya. Permohonan ini terdapat pada ay. 11. 17. 20 (= Aku berdoa) dan 24 (= Aku mau).
  2. Ada enam sapaan kepada Allah: Allah disebut sebagai Bapa (ay. 1b. 5. 21b. 24), sebagai Bapa yang kudus (ay. 11b), dan Bapa yang adil (ay. 25).
  3. Ada sembilan ayat yang meninjau kembali apa yang sudah dibuat Yesus: ay. 4 (2x). 6. 8. 12 (x2). 14. 22. dan 26.
  4. Permohonan dan penegasan tentang apa yang dibuat Yesus itu tersusun secara rapi satu sesudah yang lain sehingga bisa membentuk struktur dari Yoh 17 ini seperti di bawah ini:
I
Ay. 1-2b - Permohonan: Muliakanlah Anak-Mu
Ay. 4      - Tinjauan : Aku telah menyelesaikan pekerjaan
Ay. 5      - Permohonan: Muliakanlah Aku
Ay. 6-8   - Tinjauan: Aku telah menyatakan nama-Mu kepada semua orang
II
Ay. 9-11   - Permohonan: Peliharalah mereka dalam nama-Mu
Ay. 12-14 - Tinjauan: Aku memelihara mereka
Ay. 16-17 - Permohonan: kuduskanlah mereka dalam nama-Mu
Ay. 18-19 - Tinjauan : Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia
III
Ay. 20-21 - Permohonan: supaya mereka semua menjadi satu
Ay. 22-23 - Tinjauan : Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepada-Ku
Ay. 24      - Permohonan: supaya, di mana pun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku
Ay. 25-26 - Tinjauan: Aku telah memberitahukan nama-Mu kepada mereka
Sesuai dengan bahan kita, maka yang akan kita lihat secara lebih mendetil adalah bagian III, atau bagian terakhir.

Dari permohonan yang diungkapkan, secara tersamar bisa tergambar situasi jemaat pada waktu itu. Jika kita memperhatikan ay. 20, kiranya tampak bahwa di sini komunitas Yohanes sudah mulai berkembang. Di sini Yesus tidak hanya berdoa untuk mereka, artinya para murid yang pada waktu bersama-sama Yesus, yang boleh kita sebut sebagai para murid generasi pertama, tetapi juga para pengikut-Nya dari generasi kedua, yang merupakan buah dari karya pewartaan yang dikerjakan oleh para murid Yesus yang pertama.

Berbeda dengan para murid generasi yang pertama, murid generasi kedua tidak lagi mempunyai akses kepada Murid yang Dikasihi Tuhan yang menjadi sumber kesaksian komunitas Yohanes. Antara kedua generasi ini bisa dan tampaknya memang terjadi ketegangan. Generasi terdahulu mempunyai kekhasan tak tergantikan karena mereka mempunyai jalan masuk kepada sumber tradisi Komunitas Yohanes; sementara generasi kedua tidak pernah lagi bertemu dengan mereka. Generasi pertama tahu bahwa mereka akan segera berlalu dalam kebanggaan, dan mereka tidak tergantikan. Tetapi  tampaknya mereka masih belum rela bahwa generasi berdua, yang tidak mempunyai pengalaman otentik bersama pendiri komunitas, kemudian memegang peran penting bagi keutuhan dan perjuangan komunitas di masa depan. Situasi ini tampaknya menimbulkan ketegangan di dalam komunitas. Bagaimana identitas komunitas selanjutnya mau dibentuk? Apakah mereka cukup mendalam dalam memahami seluk-beluk iman komunitas yang khas?  

Komunitas generasi pertama, hampir bisa dipastikan terdiri dari orang-orang Yahudi. Sementara generasi kedua, bisa dibayangkan bahwa orang-orang non-Yahudi mulai berdatangan juga masuk ke dalam komunitas karena pemberitaan firman. Meskipun Komunitas Yohanes bukan sebuah komunitas yang ditentukan atau dibatasi oleh pertimbangan etnik, perbedaan etnik yang mulai tampak pada generasi kedua dan seterusnya, rasanya juga menimbulkan ketegangan meskipun mungkin tidak terlalu berpengaruh.

Demikianlah, sudah pada generasi pertama, komunitas Yohanes harus mengalami ancaman perpecahan di antara jemaat. Bahkan Roh Kudus yang pernah dijanjikan Yesus ternyata berpotensi menambah ruwetnya situasi. Sebelumnya, Yesus memang pernah menjanjikan, “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, selagi Aku berada bersama-sama dengan kamu; tetapi Penolong, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yoh 14:25-26 lihat juga 16:13). Sebetulnya, Yesus menjanjikan Roh Kudus yang menjadi pembimbing setiap orang Kristen. Penulis surat Yohanes juga mengatakan, “Sebab di dalam diri kamu tetap ada pengurapan yang telah kamu terima dari Dia. Karena itu, kamu tidak perlu diajar oleh orang lain” (1Yoh 2:27). Penegasan seperti ini tampaknya memang bagus, tetapi apakah memang demikian?

Jika masing-masing orang Kristen dibimbing dan hanya cukup mengandalkan Roh Kudus – dan tidak perlu diajar oleh orang lain – lalu apa jadinya? Jelas bahwa masing-masing bisa mengklim diri dibimbing oleh Roh Kudus dan menafsirkan ajaran Tuhan semau-maunya. Dan inilah yang rupanya terjadi dengan komunitas Yohanes di kemudian hari, sebagaimana terungkap dalam surat 1Yoh.

Ketika kesatuan terancam, maka perlu dicari kekuatan lain untuk mencegahnya. Dua kali dalam bagian ini Yesus menyampaikan pengharapan-Nya, yaitu “supaya mereka semua menjadi satu” (ay. 21 dan 22). Kesejajaran tematis seperti bisa lihat di bawah ini menunjukkan pentingnya tema ini dalam seluruh Doa Yesus kepada Bapa-Nya ini.

Yoh 17,20-21
Yoh 17,22-23
20 Bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku melalui pemberitaan mereka; 22 Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepada-Ku,
21 supaya mereka semua menjadi satu, supaya mereka menjadi satu,
sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, sama seperti Kita adalah satu: 23 Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku
agar mereka juga di dalam Kita, supaya mereka menjadi satu dengan sempurna,
supaya dunia percaya agar dunia tahu
bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku. bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.

Ada dua hal yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, kesatuan para murid Kristus ini mesti didasarkan pada kesatuan Bapa dan Putera, Bapa “di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau” (ay. 21). Dan yang kedua, kesatuan Bapa dan Putera ini dirumuskan dengan kata “di dalam”: Bapa di dalam Putra, Putera di dalam Bapa. Menarik memperhatikan bahwa dalam doa Yesus ini, rumusan seperti ini muncul cukup sering: Yesus berdoa juga untuk orang-orang yang percaya kepada-Ku (ay. 21); Ia juga memohon agar kasih yang diberikan kepada-Nya “ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka” (ay. 26). Hubungan antara Bapa dengan Yesus dan para murid dirumuskan demikian: Bapa di dalam Yesus (ay. 21.23), Yesus di dalam Bapa (ay. 21). Yesus di dalam para murid (ay. 23.26), sementara para murid dikatakan berada di dalam Yesus dan di dalam Dia dan Bapa (ay. 21).

Kesatuan Bapa – Putera yang dirumuskan dengan menggunakan ungkapan yang unik, “di dalam”. Bapa di dalam Putera; Putera di dalam Bapa. Rumusan semacam ini adalah rumusan khas Yohanes, walaupun sulit dipahami apa yang sebenarnya mau dikatakan dengan rumusan tersebut. Salah satu kemungkinan untuk memahami rumusan tersebut adalah demikian. Dengan mengatakan “Bapa di dalam Putera” (atau sebaliknya) mau ditunjukkan di satu pihak, kesatuan yang amat kuat antara keduanya, tetapi di lain pihak, keduanya tetap berbeda. Mengatakan Bapa di dalam Putera tidak sama dengan mengatakan Bapa adalah Putera, dan sebaliknya. Dalam kesatuan erat ini, identitas masing-masing tidak lebur dan menjadi sesuatu yang lain.

Lalu apa kandungan makna ungkapan “di dalam” (en) ini? Ungkapan ini tampaknya mau menunjukkan unsur kedekatan antara pihak-pihak yang terlibat (Bapa di dalam Putera, Putera di dalam Bapa, Yesus di dalam para murid, dsb). Dalam relasi ini, mereka berbagi hidup, kasih, dalam kehendak, dalam kemuliaan, dan juga dalam kebahagiaan.

Dalam konteks ini, kesatuan para murid Kristus mesti bercermin pada kesatuan atau relasi “tinggal di dalam” yang dihidupi oleh Bapa dan Putera. Dengan kata lain, kesatuan para murid Kristus sebenarnya tetap mau mempertahankan, di satu pihak, kesatuan atau kedekatan mereka, tetapi di lain pihak, juga identitas masing-masing yang khas. Kesatuan para murid Kristus, sebagai mana juga kesatuan Bapa dan Putera, tidak menuntut kesatuan di mana identitas dan kekhasan masing-masing lenyap melebur menjadi satu.

Sampai saat ini kita bicara tentang “tinggal di dalam”. Tetapi silakan diperhatikan bahwa “tinggal di dalam” ini hanya terjadi antara Bapa dan Putera di satu pihak, dengan para pengikut Yesus di lain pihak. Artinya, dalam bagian ini, tidak pernah dikatakan bahwa murid yang satu tinggal di dalam murid yang lain. Meskipun sebenarnya bisa diandaikan bahwa jika para murid tinggal di dalam Bapa atau Putera, maka di antara mereka pun, sebenarnya terjalin sebuah kesatuan. Bapa dan Putera menjadi titik yang mempersatukan mereka semua. Tetapi kita tahu bahwa dalam doa ini, tidak dikatakan secara eksplisit bahwa murid yang satu tinggal di dalam murid yang lain.

Satu poin lain perlu juga mendapat perhatian. Dalam dua pengharapan agar mereka menjadi satu, Yesus menyatakan bahwa tujuannya adalah “supaya dunia percaya” bahwa Bapa lah yang telah  mengutus Diri-Nya (ay. 21 dan 23). Dengan demikian, kesatuan para murid Kristus sebenarnya mempunyai dimensi lain, yaitu dimensi kemartiran, yaitu memberikan kesaksian bagi dunia. Lalu, kesaksian apa? Dunia mesti tahu bahwa Allah telah mengutus Yesus dan Allah mengasihi para pengikut Yesus sebagaimana Ia mengasihi Yesus. Itu berarti bahwa di dalam komunitas para murid Kristus terungkap kuasa yang lebih besar, yaitu kuasa Allah sendiri. Komunitas murid Kristus tidak tiba-tiba muncul dengan kekuatannya sendiri.

***

Menjadi jelas bahwa dalam konteks Gereja Indonesia, Kabar Sukacita mesti diwartakan dalam pluralitas gereja-gereja. Seperti sudah disinggung pada awal, kalau orang sempat mengunjungi Gereja Makam Suci (Church of the Holy Sepulcher) di Yerusalem akan terasakan sesuatu yang amat ironis. Di tempat di mana Sang Penebus menjalankan karya penyelamatan Allah dengan menyerahkan diri-Nya di kayu salib, di tempat itulah perpecahan umat kristiani amat kentara. Sejak tahun 1862, pemeliharaan Gereja Makam Suci ini menjadi tanggungjawab tidak kurang dari enam denominasi Kristen, yaitu Gereja Ortodoks Yunani, Gereja Armenia, Gereja Katolik Roma, Gereja Koptik, Gereja Etiopia, dan Gereja Ortodoks Siria. Gereja yang luar biasa ini dibagi sangat ketat menjadi enam area. Pelanggaran batas ini bisa menimbulkan konflik berdarah di antara orang Kristen sendiri. Begitu gentingnya suasana sampai-sampai kunci pintu Gereja Makam Suci ini sejak berabad-abad justru dipercayakan kepada dua keluarga Muslim untuk menjaga kenetralannya. Konsili Vatikan II dengan tegas menggambarkan situasi ini sebagai perpecahan yang "terang-terangan berlawanan dengan kehendak Kristus, dan menjadi batu sandungan bagi dunia, serta merugikan perutusan suci, yakni mewartakan Injil kepada semua makhluk" (UR 1).

Dekrit tentang ekumenisme dibuka dengan kalimat “Mendukung pemulihan kesatuan antara segenap umat Kristen merupakan salah satu maksud utama Konsili Ekumenis Vatikan II” (UR 1). Dengan demikian menjadi jelas arah perjalanan Gereja selanjutnya khususnya dalam relasi dengan gereja-gereja lain. Dirasakan bahwa sampai saat ini, arahan Konsili Vatikan II ini berjalan dengan baik: sikap polemik di masa lalu perlahan-lahan mulai ditinggalkan, keinginan umat beriman untuk mengetahui gereja atau denominasi lain mulai tumbuh, dan beberapa inisiatif bersama. Tentu saja masih banyak persoalan yang mesti diselesaikan, dari hal-hal yang bersifat praktis sampai dengan yang dogmatis. Tetapi kiranya kita tidak perlu menantikan semuanya selesai terlebih dahulu baru kita memulai sesuatu. Dengan memulai sesuatu, mungkin kita justru menjejakkan langkah awal untuk sesuatu yang lebih baik.

Harus diakui bahwa berhadapan dengan pluralisme denominasi kristen seperti ini, tugas pewartaan Injil menjadi sangat unik dan peka, dan sekaligus memprihatinkan. Semuanya merasa mendapatkan perutusan dari Amanat Agung (Mat 28:18-20) untuk menjadikan semua bangsa murid Yesus. Yang diwartakan adalah Yesus Kristus yang sama yang dikisahkan dalam Injil yang sama. Kalau boleh kita gunakan kata “pasar”; maka “pasar” ke mana Kabar Sukacita itu ditawarkan, sebenarnya ya itu itu saja. Tidak mengherankan dan memang tidak bisa terhindarkan bahwa pewartaan tentang Yesus Kristus ini seringkali akhirnya juga disampaikan kepada mereka yang sudah beriman kepada Yesus Kristus. Istilah yang seringkali muncul adalah “memancing di kolam orang”. Dalam situasi demikian, maka tidak jarang perbedaan, yang seringkali diartikan sebagai kelebihan yang satu dibandingkan dengan denominasi yang lain, semakin ditonjolkan dan ditampakkan, bahkan kadang-kadang dimanfaatkan sebagai sarana persuasif dan provokatif.

Dalam kesempatan ini, rasanya tidak mungkin kita berdiskusi panjang lebar lagi tentang relasi Gereja Katolik dengan gereja-gereja lain. Pada level umat beriman yang tidak banyak berurusan dengan hal-hal yang berbau teologis-dogmatis, mungkin pembicaraan dalam pertemuan akan lebih efektif jika diarahkan pada hal-hal konkret yang bisa dikerjakan bersama dengan saudara-saudara dari Gereja lain supaya bisa terbangun bonum commune atau kebaikan bersama. Perbedaan-perbedaan yang ada baiklah dikesampingkan terlebih dulu untuk memberi tempat pada persamaan yang menghasilkan buah untuk melindungi kepentingan bersama.


Diambil dari Gagasan Pendukung BKSN 2018 “MEWARTAKAN KABAR GEMBIRA DALAM KEMAJEMUKAN”, tulisan Dr. V. Indra Sanjaya, Pr (hlm 39-46)

No comments