Latest News

'

Pertemuan 2: Dialog dengan Budaya (Mat 1:18-25)


18 Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut:
Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami istri. 19 Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama istrinya di depan umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam. 20 Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan tampak kepadanya dalam mimpi dan berkata, "Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. 21 Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka."
22 Hal itu terjadi supaya digenapi yang difirmankan Tuhan melalui nabi: 23 "Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel." (Yang berarti: Allah menyertai kita.)
24 Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai istrinya, 25 tetapi tidak bersetubuh dengannya sampai Maria melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus.

Pendalaman Teks

Teks yang akan direnungkan pada Minggu II ini sudah sangat terkenal, bahkan di antara kita mungkin ada yang sudah hampir hafal luar kepala. Alkitab kita memberi judul Kelahiran Yesus Kristus, dan diberi catatan bahwa teks paralelnya adalah Luk 2:1-7. Tetapi tentu saja kalau kita lihat, kisahnya berbeda. Memang, sebagaimana kita semua sudah ketahui, kita mempunyai dua versi kisah Masa Kanak-kanak Yesus (Infancy Narrative), yaitu versi Injil Matius dan Injil Lukas. Teks ini serasa sudah punya konteks tersendiri, sehingga mungkin agak aneh kalau teks ini kita bicarakan dalam konteks yang lain. Tapi kita coba.

Bahwa seorang gadis bertunangan dengan seorang laki-laki sebenarnya bukanlah yang terlalu istimewa. Sebelum pernikahan, amat wajar kalau calon suami-istri memasuki tahap pertunangan. Itu sangat normal. Dalam adat Yahudi, perkawinan terdiri dari dua tahap. Tahap yang pertama adalah pertunangan. Tahap kedua adalah ketika mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai laki-laki kira-kira setahun kemudian. Pertunangan atau tahap pertama dari perkawinan sudah diatur oleh hukum. Demikian juga apa yang terjadi dengan Maria dan Yusuf. Kalau tidak terjadi apa-apa, maka bisa dibayangkan bahwa setelah periode pertunangan akan ada pesta pernikahan, dan seterusnya, dan seterusnya. Persoalannya adalah bahwa kemudian penginjil memberikan informasi bahwa sang calon mempelai wanita, yaitu Maria, ternyata sudah mengandung “sebelum mereka hidup sebagai suami-istri” (ay. 18) artinya sebelum tahap kedua terjadi. Ini mengubah situasi.

Kehamilan sebelum kedua calon mempelai ini hidup bersama bisa dipandang sebagai sebuah skandal. Dalam hal ini, kehamilan Maria merupakan sesuatu yang memalukan bagi Yusuf. Sebenarnya dalam tradisi religius Israel yang tersimpan dalam Perjanjian Lama, orang Israel sudah terbiasa dengan kisah-kisah kelahiran yang tidak biasa untuk menunjukkan campur tangan Allah. Tokoh seperti Ishak, Samson, Samuel adalah tokoh-tokoh yang lahir dari ibu yang mandul dan lanjut usia. Tetapi kelahiran dari seorang perawan merupakan sesuatu yang sebelumnya sama sekali tidak diperhitungkan. Di sini kita bisa bertanya, kalau benar kehamilan Maria ini merupakan kehendak Tuhan, lalu mengapa hal ini mesti mengakibatkan ketidaknyamanan bagi Bapa Yusuf? Kalau hal ini terjadi ketika Bunda Maria belum bertunangan, tentu dampaknya tidak terlalu besar. Paling tidak hanya seorang saja yang dipermalukan.

Kehamilan Maria memang diberi keterangan “mengandung dari Roh Kudus”. Tetapi di sini perlu disadari bahwa informasi ini sebenarnya hanya untuk pembaca. Yusuf tidak tahu kalau Maria mengandung “dari Roh Kudus”. Yang ia tahu adalah bahwa Maria hamil. Persoalan hukum yang langsung muncul ke permukaan adalah yang tercantum dalam Ul 22:20-21:
20 Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada si gadis, 21 maka haruslah si gadis dibawa ke luar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati -- sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.
Lalu bagaimana kira-kira reaksi Yusuf? Apa yang ia pikirkan? Mungkin Yusuf marah. Kalau Maria ternyata sudah hamil dan mereka belum tinggal bersama, maka kesimpulan yang paling logis adalah bahwa Maria mungkin telah berbuat selingkuh (bdk. Ul 22:23-24) atau diperkosa (bdk. Ul 22:25-27). Dengan latar belakang ini kiranya perlu dipahami ay. 19 “Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama istrinya di depan umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.”

Sebagai seorang yang tulis hati (atau orang benar), Yusuf tidak bisa mengambil Maria sebagai istrinya, karena dengan demikian ia membiarkan yang jahat itu berada di tengah-tengahnya. Menurut Ul 22:21 perempuan yang kedapatan tidak perawan harus dihukum dengan dilempari dengan batu sehingga mati. Dalam bentuk yang lebih ringan, usaha untuk “menghapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu” bisa dipenuhi dengan cara menceraikan sang istri. Menurut pendapat beberapa ahli, pada abad pertama Masehi praktik hukum rajam tampaknya sudah tidak berlaku lagi. Dalam kasus ini, Yusuf sebenarnya mempunyai dua pilihan, menceraikan Maria secara publik atau secara diam-diam. Tetapi karena Yusuf tidak mau “mencemarkan nama istrinya di depan umum”, maka yang ia pilih adalah menceraikan Maria secara diam-diam. Menceraikan secara diam-diam berarti hanya di hadapan dua orang saksi, dan bukan di hadapan umum. Dengan demikian, proses ini tidak terlalu mempermalukan Maria.

Tetapi rencana Yusuf ini ternyata tinggal rencana. Tengah dia merenung-renung, tiba-tiba datang veto dari Allah sendiri melalui Malaekat-Nya (ay. 20) yang hadir dalam mimpi.Persis pada waktu itu disampaikan oleh Malaekat Tuhan apa yang sedang terjadi dalam diri Maria dan siapa ada di dalam kandungannya. Maria tidak seperti yang difikirkan oleh Yusuf. Ia tidak melakukan yang tidak benar, karena anak yang ada di kandungannya adalah dari Roh Kudus.

Dengan veto malaikat ini, tidak ada lagi alasan bagi Yusuf untuk menceraikan Maria. Kehidupan pasangan yang bertunangan ini bisa terus berjalan sebagaimana sudah direncanakan. Dan dengan demikian, Yusuf mendapatkan tempatnya seperti sudah tercantum dalam silsilah Yesus. “Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus” (Mat 1:16). Dengan (tetap) menikahi Maria, Yusuf mendapatkan hak untuk menjadi ayah secara hukum dari bayi Yesus. Ini berarti menempatkan Yesus dalam garis keturunan Daud. Dengan memberi nama kepada sang bayi (“engkau akan menamakan Dia Yesus” – ay. 21), Yusuf menegaskan secara publik bahwa bayi Yesus adalah anaknya. Dalam tradisi rabinik, seorang yang menyatakan sebuah pengakuan: “Si-X ini adalah anak saya”, maka pernyataan ini mesti dipercaya (mBaba Batra 8:6).

Malaikat kemudian melanjutkan dengan menyingkap latar belakang peristiwa ini. “Hal itu terjadi supaya digenapi yang difirmankan Tuhan melalui nabi” (ay. 22). Kelahiran Yesus dipandang sebagai pemenuhan nubuat lama, yang pernah diucapkan oleh nabi Yesaya sekitar delapan abad yang lalu. “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” (Mat 1:23). Di sini pembaca mungkin bertanya: lho, kok “memanggil nama” lagi? Bukankahh pada ayat sebelumnya dikatakan bahwa Yusuf sebagai ayah menurut hukum sudah memberi nama sang bayi kecil ini? Yang patut dicatat adalah bahwa di sini, subjek yang memberi nama adalah mereka. Siapa yang dimaksud dengan mereka ini? Tampaknya mereka di sini mewakili jemaat Matius atau orang-orang Kristen, atau orang-orang yang percaya kepada Kristus. Dengan demikian, Imanuel yang kemudian diberi penjelasan sebagai “Allah menyertai kita”, kiranya lebih baik tidak diartikan sebagai nama diri, tetapi semacam gelar Yesus. Bukankah nama diri sudah diberikan oleh yang lebih berhak, yaitu Yusuf ayahnya secara hukum?

Mereka yang pernah mempelajari Injil Matius mengetahui bahwa gagasan Allah yang menyertai jemaat-Nya adalah gagasan yang sentral. Ada tiga ayat kunci dalam Injil Matius yang membangun struktur injil pertama ini.

Mat 1:23   : dan mereka akan menamakan Dia Imanuel." (Yang berarti: Allah menyertai kita.)
Mat 18:20 : Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka."
Mat 28:20 : Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman."           

Dengan cara ini penginjil mau mewartakan siapakah Yesus ini. Dia adalah Firman yang menjadi daging, Allah yang menyertai manusia sepanjang segala masa. Juga ketika kita mewartakan Kabar Sukacita pada zaman sekarang ini, Tuhan Yesus tetap menyertai kita.         

***


Kisah seputar kehamilan Maria ini sengaja dipilih untuk permenungan pada Minggu kedua ini tidak untuk menekankan mukjizat perkandungan Yesus, atau soal keperawanan Maria. Yang mau digarisbawahi adalah satu hal yang lebih mendasar, yaitu soal inkarnasi, Firman yang menjadi daging. Inkarnasi adalah salah satu ajaran pokok dalam kekristenan. Kalau Allah memutuskan untuk berinkarnasi, maka mau tidak mau Ia yang tidak terbatas ini mesti berinkarnasi dalam sebuah konteks yang amat terbatas. Paulus merumuskannya dengan sangat indah, Yesus Kristus “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2:6-7).

Di satu pihak inkarnasi adalah sebuah pengosongan diri; Allah yang turun; tetapi di lain pihak, inkarnasi juga berarti sebuah pemuliaan; kodrat manusia diangkat. Inkarnasi menunjukkan bahwa Allah menilai tinggi budaya manusia. Gagasan ini menjadi penting bagi kita dalam merenungkan tempat budaya-budaya lokal di mana Gereja berada. Inkarnasi ini menjadi dasar bagi inkulturasi yang memainkan peranan penting dalam tugas evangelisasi Gereja kini dan di sini. Bukan kebetulan kalau almarhum Paus St. Yohanes Paulus II gemar dengan istilah inkulturasi, yang baru mulai populer sekitar tahun 70-an, justru karena mempunyai kemiripan dengan istilah inkarnasi, baik dari segi isi maupun istilah.

Tema minggu II ini adalah mewartakan Kabar Gembira dalam kemajemukan budaya. Dokumen FABC tahun 1974 mengatakan bahwa “untuk mewartakan Injil di Asia masa kini hendaklah kita sungguh mendarah-dagingkan amanat dan hidup Kristus dalam budi dan perihidup bangsa-bangsa kita. Titik berat utama tugas kita mewartakan Inji, pada saat sejarah kita sekarang, ialah membangun Gereja setempat yang sejati (FABC 9). Sebab Gereja setempat ialah perwujudan dan pengejawantahan Tubuh Kristus dalam bangsa tertentu, di tempat tertentu, pada waktu tertentu (FABC 10). Gereja setempat ialah Gereja yang berinkarnasi dalam suatu bangsa, Gereja yang pribumi dan berinkulturasi (FABC 12). Dengan kata lain, para uskup Asia menghendaki agar Gereja sungguh-sungguh menjadi Gereja Asia dan bukan gereja di Asia.

Harus diakui bahwa perjalanan sejarah misi di masa lalu tidak terlalu bersahabat dengan kultur setempat. Pada waktu itu perbedaan antara agama dengan kultur tidak tampak. Keyakinan para misionaris bahwa mereka membawa agama yang unggul secara tidak disadari juga menghasilkan perasaan lebih unggul dalam bidang kultural. Sebaliknya, juga keunggulan dalam bidang budaya, terutama sejak zaman Pencerahan, membawa juga anggapan keunggulan dalam bidang religius. Para misionaris datang ke tanah misi dengan anggapan tidak hanya mewartakan Kabar Sukacita Injil, tetapi juga membawa kultur barat yang unggul. Salah satu teks misioner pada waktu itu adalah kata-kata Yesus yang terdapat dalam Yoh 10:10 “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dengan berlimpah-limpah.”Dan ungkapan “Hidup yang berlimpah-limpah” diartikan sebagai berlimpahnya hal-hal modern untuk pendidikan, kesehatan, dan pertanian masyarakat yang terbelakang di dunia ini[1]. Akibat dari penalaran yang seperti ini, kultur setempat tidak pernah mendapat tempat yang selayaknya.

Situasi seperti inilah yang mesti perlahan-lahan mesti diubah. Agama harus bisa dibedakan dari unsur budayanya. Dengan demikian, agama bisa bersikap kritis terhadap kultur yang membawanya; dan pada saat yang bersamaan, agama bisa lebih mengapresiasi kultur yang lain, dan dengan demikian bisa diperkaya juga olehnya. Inkulturasi mempunyai gerakan ganda. Di satu pihak, ada inkulturasi iman Kristen; dan di lain pihak, ada kristenisasi kultur setempat[2]. Dalam konteks ini perlu diperhatikan catatan dari Paus St. Yohanes Paulus II dalam anjuran apostoliknya, Catechesi Tradendae (16 Oktober 1979);
...kekuatan Injil di mana pun juga menimbulkan perubahan dan kelahiran baru. Bila kekuatan itu merasuki kebudayaan, tidak mengherankan bahwa banyak unsur kebudayaan itu dijernihkan atau diluruskan olehnya (CT 53).
Kekayaan budaya yang dikandung oleh tanah air kita, Indonesia ini sungguh luar biasa mengagumkan. Di banyak tempat, sudah banyak dipikirkan bagaimana kekayaan budaya ini sungguh-sungguh bisa dimanfaatkan untuk penyebaran dan perkembangan iman umat. Dengan demikian, masalah inkulturasi sudah menjadi bahan pemikiran dan diskusi dengan melihatkan banyak pihak yang berkompeten. Tentu saja mesti diakui bahwa di masing-masing tempat, perkembangan soal inkulturasi ini juga melewati tahap-tahap yang berbeda. Di beberapa tempat, masalah inkulturasi ini berada pada ranah liturgi: bagaimana kekayaan budaya, seperti lagu-lagu, tata busana serta tarian yang merupakan ekspresi batin sebuah budaya tertentu, bisa menyumbang bagi ibadat Gereja. Di tempat lain, mulai dicari dan dipikirkan juga titik temu antara gagasan dan pengharapan yang terungkap dalam aneka macam ungkapan dan simbol yang terdapat dalam budaya setempat dengan pengharapan yang ditawarkan oleh kekristenan.

Menjadi Gereja Asia, dan bukan menjadi Gereja di Asia, kiranya memang sudah menjadi concern kita sudah sejak lama. Pertemuan-pertemuan dalam rangka BKSN mungkin bisa mendalami kembali pengalaman inkulturasi yang sudah ada, tetapi bisa saja menemukan sesuatu yang baru. Membaca dan mendalami Kitab Suci dari perspektif sebuah budaya tertentu mungkin bisa menjadi sebuah usaha yang menarik untuk dicoba? Apakah ada konsep-konsep budaya tertentu bisa membantu kita untuk memahami satu konsep teologis/alkitabiah tertentu?


Diambil dari Gagasan Pendukung BKSN 2018 “MEWARTAKAN KABAR GEMBIRA DALAM KEMAJEMUKAN”, tulisan Dr. V. Indra Sanjaya, Pr (hlm 25-30)


[1] David J. Bosch, Transforming Mission. Paradigm Shifts in Theology of Mission (Orbis Book, New York 2011) 256.
[2] Bosch, Transforming Mission, 385.

No comments